“Kadang sebulan baru ada yang beli serai saya, Nak. Hasilnya cuma 5-10 ribu rupiah. Tapi ya tetap saya syukuri, namanya rezeki kan nggak bisa dipaksa.”
— Mbah Suyono (63 tahun)
Tiga puluh tahun lalu, percikan las dari pekerjaan serabutan membuat matanya buta total. Sejak saat itu, dunia menjadi gelap baginya. Namun, di tengah keterbatasan itu, Mbah Suyono tetap memilih untuk tidak menyerah.
Dengan langkah pelan dan tangan yang meraba, beliau berangkat setiap hari membawa beberapa ikat serai untuk dijual di pinggir jalan. Tapi pembeli tak selalu datang. Kadang sebulan baru ada satu-dua orang yang membeli, dengan hasil hanya Rp5.000—tak cukup bahkan untuk sekilo beras.
Kini, setelah istrinya meninggal karena kanker payudara, Mbah Suyono benar-benar hidup sebatang kara.
Tak ada keluarga, tak ada anak yang menemaninya. Hanya gubuk reyot di pinggir kota yang menjadi tempat ia berteduh; dindingnya lapuk, atapnya bocor, dan dingin saat hujan turun.
Ketika tubuh renta itu kelelahan usai berkebun atau menunggu pembeli yang tak kunjung datang, Mbah Suyono sering terlihat tertidur di pondok kecil seadanya di pinggir jalan—seolah menjadikannya rumah kedua.
💔 Kini, Mbah Suyono butuh uluran tangan kita.
Mari bersama kita nyalakan kembali harapan Mbah Suyono, agar masa tuanya tak lagi dijalani dalam gelap dan kesepian.
Belum ada Fundraiser